Awal mula keberadaan Desa
Penglipuran sudah ada sejak dahulu, konon pada zaman Kerajaan Bangli. Para
leluhur penduduk desa ini datang dari Desa Bayung Gede dan menetap sampai
sekarang, sementara nama “Penglipuran” sendiri berasal dari kata Pengeling Pura
yang mempunyai makna tempat suci untuk mengenang para leluhur.
Desa Adat Penglipuran merupakan satu kawasan pedesaan
yang memiliki tatanan spesifik dari struktur desa tradisional, sehingga mampu
menampilkan wajah pedesaan yang asri. Penataan fisik dari struktur desa
tersebut tidak terlepas dari budaya masyarakatnya yang sudah berlaku turun
temurun. Sehingga dengan demikian Desa Adat Penglipuran merupakan obyek wisata
budaya. Keasrian Desa Adat Penglipuran dapat dirasakan mulai dari memasuki
kawasan pradesa dengan hijau rerumputan pada pinggiran jalan dan pagar tanaman
menepi sepanjang jalan, menambah kesejukan pada daerah prosesi desa.
Pada areal catus pata setelah prosesi tersebut, merupakan areal tapal
batas memasuki Desa Adat Penglipuran. Balai wantilan dan fasilitas
kemasyarakatan serta ruang terbuka pertamanan, merupakan daerah selamat datang
(Welcome Area).. Areal berikutnya adalah areal tatanan pola desa, yang diawali
dengan gradasi ke fisik desa secara linier ke arah kanan dan kiri.
Lokasi Desa Adat Penglipuran
Desa adat
Penglipuran terletak di Kelurahan Kubu di Kecamatan Bangli, Kabupaten Dati II
Bangli. Luas desa adat Penglipuran kurang lebih 112 ha, dengan batas wilayah
desa adat Kubu di sebelah timur, di sebelah selatan desa adat Gunaksa, dan di
sebelah Barat Tukad Sang-sang, sedangkan di sebelah utara desa adat Kayang.Desa
Adat Penglipuran terletak di kaki Gunung Batur pada ketinggian 700 meter dpl.
Desa Adat Penglipuran terletak pada jalur wisata Kintamani, sejauh 5 Km dari
pusat kota Bangli, dan 45 Km dari pusat kota Denpasar.
Keunggulan dan Daya Tarik Wisata di Desa adat
Penglipuran
Desa Penglipuran merupakan salah
satu daerah di Bali terutama di Kabupaten Bangli yang memiliki banyak julukan,
diantaranya: Desa Adat, Desa Budaya, dan Desa Wisata. Hal tersebut ditinjau dari berbagai aspek seperti: sistem adat, tata ruang, perkawinan,
bentuk bangunan dan topografi, upacara kematian, stratifikasi social, kesenian,
mata pencaharian, organisasi, dan obyek wisata .
1.
Sistem Adat
Di desa Penglipuran terdapat dua sistem dalam pemerintahan yaitu menurut
sistem pemerintah atau sistem formal yaitu terdiri dari RT dan RW, dan sistem
yang otonom atau Desa adat. Kedudukan desa adat maupun desa formal berdiri
sendiri-sendiri dan setara. Karena otonom, desa adat mempunyai aturan-aturan
tersendiri menurut adat istiadat di daerah penglipuran dengan catatan aturan
tersebut tidak bertentangan dengan pancasila dan Undang-undang
pemerintah.Undang-undang atau aturan yang ada di desa penglipuran disebut
dengan awig-awig. Awig-awig tersebut merupakan implementasi dari landasan
operasional masyarakat penglipuran yaitu Tri Hita Karana.Tri Hita Karana
tersebut yaitu sebagai berikut :
a. Prahyangan, adalah hubungan manusia dan tuhan. Meliputi
penentuan hari suci,tempat suci dan lain-lain.
b. Pawongan, adalah hubungan manusia dan
manusia. Meliputi hubungan masyarakat penglipuran dengan masyarakat desa
lain, maupun hubungan dengan orang yang bedaagama. Dalam pawongan
bentuk-bentuknya meliputi sistem perkawinan,organisasi, perwarisan dan
lain-lain.
c. Hubungan manusia dan lingkungan, masyarakat desa penglipuran diajarkan
untuk mencintai alam lingkungannya dan selalu merawatnya, tidak heran
kalau desa penglipuran terlihat begitu asri.
Filsafat hubungan yang selaras antara alam dan manusia dan kearifan
manusia mendayagunakan alam sehingga terbentuk ruang kehidupan terlihat jelas
di Penglipuran dan daerah lain di Bali. Oleh karena itu visualisasi
estetika pada kawasan ini bukan merupakan barang langka yang sulit dicari, melainkan
sudah menyatu dalam tata lingkungannya.
2.
Tata Ruang
Tata ruang desa penglipuran dikenal dengan Tri Mandala yang terdiri dari
tiga bagian yaitu :
a. Utama Mandala
Orang Penglipuran biasa menyebutnya sebagai Utama Mandala ,
yang bias diartikan sebagai tempat suci. Ditempat inilah orang-orang
Penglipuran melakukan kegiatan sembahyang kepada Sang Hyng Widi yang
mereka percaya sebagai Tuhan mereka.
b. Madya Mandala
Biasanya adalah berupa pemukiman penduduk yang berbanjar sepanjang jalan
utama desa.Barisan itu berjejer menghadap kearah barat dan timur.Saat
ini jumlah rumah yang ada disana ada sebanyak 70 buah.Tata ruang
pemukimannya sendiri adalah sebelah utara atau timur adalah purakeluarga yang
telah diaben.Sedangkan Madya Mandala adalah rumah keluarga. Di tiap rumah pun
terdapat tata ruang yang telah diatur oleh adat.Tata ruang nya adalah sebelah
utara dijadikan sebagai tempat tidur, tengah digunakan sebagi tempat keluarga
sedangkan sebelah timur dijadikan sebagai tempat pembuangan atau MCK. Dan
bagian nista dari pekarangan biasanya berupa jemuran, garasi dan
tempat penyimpanan kayu.
c. Nista Mandala
Nista mandala ini adalah tempat yang paling buruk, disana terdapat
kuburan dari masyarakat penglipuran.
Konsep tri
mandala tidak hanya berlaku bagi tata ruang desa tetapi juga bagi tata ruang
rumah hunian. Setiap kapling rumah warga Penglipuran terbagi menjadi tiga
bagian. Di halaman depan, terdapat bangunan angkul-angkul dan ruang
kosong yang disebut natah; bagian tengah adalah tempat berkumpulnya keluarga;
dan di bagian paling belakang erdapat toilet, tempat jemuran, atau kandang
ternak.
3.
Perkawinan
Di desa ini ada adat yang berlaku soal perkawinan yakni pelarangan
poligami terhadap para penduduknya. Adat melarang hal tersebut demi menjaga
para wanita. Meskipun ada yang boleh melakukan poligami namun akan mendapat
sanksi. Sanksi biasanya si poligami akan ditempatkan pada tempat yang
bernama nista mandala. Dan dilarang melakukan perjalanan dari selatan ke utara
karena wilayah utara bagi orang penglipuran adalah wilayah yang paling
suci. Masyarakat Penglipuran juga pantang untuk menikahi tetangga
disebelahkanan dan sebelah kiri juga sebelah depan dari rumahnya. Karena
tetangga-tetangganya tersebut sudah dianggap sebagai keluarga sendiri.. Bagi
warga yang ingin menikah dengan orang di luar Penglipuran bisa saja. Dengan
ketentuan bila mempelai laki-laki dari Penglipuran maka mempelai perempuan
yang dari daerah lain harus masuk menjadi bagian dari adat Penglipuran. Yang
menarik adalah jika mempelai perempuan dari desa penglipuran dan laki-lakinya
dari adat yang lain, maka bisa saja laki-laki tersebut masuk ke dalam adat
Penglipuran dan hidup di desa Penglipuran tetapi dengan konsekuensi laki-laki
tersebut dianggap wanita oleh warga lainnya. Maksudnya tugas-tugas adat yang
dialaksanakan adalah tugas untuk para wanita bukan tugas para lelaki.
4. Bentuk
Bangunan dan Topografi
Topografi desa tersusun sedimikian rupa dimana pada daerah utama desa
kedudukannya lebih tinggi demikian seterusnya menurun sampai daerah hilir. Pada
daerah desa terdapat Pura penataran dan Pura Puseh yang merupakan daerah utama
desa yang unik dan spesifik karena disepanjang jalan koridor desa hanya
digunakan untuk pejalan kaki, yang kanan kirinya dilengkapi dengan
atribut-atribut struktur desa; seperti tembok penyengker, angkul-angkul dan
telajakan yang seragam. Keseragaman dari wajah desa tersebut disamping karena
adanya keseragaman bentuk juga dari keseragaman bahan yaitu bahan tanah
untuk tembok penyengker dan angkul-angkul (pol-polan) dan atap dari bambu
yang dibelah untuk seluruh bangunan desa. Penggunaan bambu baik untuk atap,
dinding maupun lain-lain kebutuhan merupakan suatu keharusan untuk digunakan
karena desa Penglipuran dikelilingi oleh hutan bambu dan masih merupakan
teritorial desa Penglipuran.
5.
Upacara Kematian (Ngaben)
Seperti daerah lain yang ada di Bali, di Penglipuran masyarakatnya
mengadakan upacara yang biasa disebut ngaben. Dimana ngaben ini adalah suatu
upacara kematian dalam rangka mengembalikan arwah orang yang meninggal yang
awalnya menurut kepercayaan orang Bali arwah tersebut masih tersesat kemudian
dikembalikan ke pura kediaman si arwah. Yang membedakan daerah ini
hanyalah pada ritualnya saja. Dimana apabila orang bali lain ngaben
dilakukan dengan cara membakar mayat, di Penglipuran mayat di kubur. Menurut
analisa hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Penglipuran sebagai tanda hormat
dan juga sebagai cara untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan buruk mengingat
daerah Penglipuran yang berada didaerah pegunungan yang jauh dari laut, seperti
yang kita tahu bahwa abu jenasah yang telah dibakar harus dilarung atau
dibuang ke laut sedangkan bagi orang Bali menyimpan abu jenasah adalah suatu
pantangan, jadi solusi terbaik adalah dimakamkan.
6.
Stratifikasi Sosial
Di Penglipuran hanya ada satu tingkatan kasta yaitu Kasta
Sudra, jadi di Penglipuran kedudukan antar warganya setara. Hanya saja ada
seseorang yang diangkat untuk memimpin mereka yaitu ketua adat. Pada saat ini
ketua adat yang masih menjabat adalah I Wayan Supat. Pemilihan ketua adat
tersebut dilakukan lima tahun sekali.
7.
Kesenian
Di Desa Penglipuran terdapat tari-tarian yaitu tari
Baris. Tari Baris sebagai salah satu bentuk seni tradisional yang berakar kuat
pada kehidupan masyarakatnya dan hidup secara mentradisi atau turun temurun,
dimana keberadaan Tari Baris Sakral di Desa Adat Penglipuran adalah merupakan
tarian yang langka, dan berfungsi sebagai tari penyelenggara upacara dewa
yadnya. Adapun iringan gambelan yang mengiringi pada saat pementasan semua
jenis Tari Baris Sakral tersebut adalah seperangkat gambelan Gong Gede yang
didukung oleh Sekaa Gong Gede Desa Adat Penglipuran. Unsur bentuk ini meliputi
juga keanggotaan sekaa Baris sakral ini di atur di dalam awig-awig Desa Adat
Penglipuran. Kemudian nama-nama penari ketiga jenis Baris sakral ini juga telah
ditetapkan, yakni Baris Jojor 12 orang, Baris Presi 12 orang, dan Baris Bedil
20orang.
Obyek Wisata di desa Penglipuran
a.
Tugu
Pahlawan
Di Lingkungan desa terdapat Tugu
Pahlawan Pengllipuran sebagai simbol Perjuangan kapten Anang Agung Anom Mudita
dari Puri Kanginan Bangli. Agung Gde Anom Mudita, gugur melawan penjajah Belanda pada
tanggal 20 November 1947. Taman Pahlawan ini dibangun oleh masyarakat desa adat
penglipuran sebagai wujud bakti dan hormat mereka kepada sang pejuang.Bersama
segenap rakyat Bangli, Kapten Mudita berjuang tanpa pamrih demi martabat dan
harga diri bangsa sampai titik darah penghabisan. Tugu ini
sepenuhnya menjadi tanggung jawab krama desa adat penglipuran dan tidak
dillimpahkan kepada pemerintah.
b.
Hutan
Bambu
Desa Pengelipuran selain memiliki daya pesona budaya yakni keunikan
rumah warganya, juga memiliki daya tarik wisata yakni hamparan hutan bambu yang
luasnya mencapai lebih dari 75 hektar. Hutan ini selain dimiliki warga desa
adat juga menjadi salah satu objek wisata yang acapkali dikunjungi wisatawan
baik yang ingin menyaksikan berbagai jenis bambu, maupun mereka yang hanya
ingin sekedar menikmati suasana di tengah hutan bambu.
Hutan Bambu yang
ada di Desa Penglipuran mempunyai luas areal sekitar 45 hektar dengan berbagai
jenis bambu yakni terdiri dari Bambu Petung, Bambu Jajang Aya, Bambu Jajang
Abu, Bambu Tali, Bambu Papah, Bambu Suet
dan jenis bambu
lainnya, tetapi terdapat beberapa jenis
bambu sudah mengalami
kepunahan. Hutan
Bambu ini sebagian dimiliki oleh desa adat dan sebagian lagi dimiliki oleh
masyarakat.
Suasana sunyi di tengah hutan, selain akan memberikan suasana tersendiri
bagi wisatawan, juga akan makin mendekatkan wisatawan akan keindahan alam yang
ada di hutan bambu Desa Penglipuran. Usai menikmati keindahan hutan bambu,
wisatawan juga bisa menyaksikan perkebunan penduduk serta aktivitas pembuatan
aneka bentuk anyaman bambu yang dikerjakan oleh warga Penglipuran. Kondisi ini
tentunya akan menambah pengalaman wisatawan.
1 komentar:
Maaf sebelumnya mba, data penglipuran itu mba dapat dari mana?
tolong dijawabnya
Posting Komentar